I.
MAKNA
SYIAH
Dari segi bahasa (etimologi bahasa Arab), syiah artinya pembela dan
pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas
suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405,
karya Az-Zabidi)
Al Quran menyebut kata “syii’atihii” sebanyak empat kali sebagaimana firman Allah SWT dalam :
1)
Surah
Asshaffat (37) : 83
"sungguhnya termasuk
golongan (Nuh) adalah Ibrahim”
2)
Surah
Maryam (19) : 69,
"Kemudian pasti Kami tarik dari tiap-tiap
golongan (Syii’atin) siapa antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan yang
Maha Pemurah".
3)
Ketiga
dan keempat adalah Surah al-Qasas: 15 :
“dan Musa masuk ke kota
(Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu
dua orang...
laki-laki yang ber kelahi; yang seorang dari golongannya (Bani
Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu
Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah
perbuatan syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi
nyata (permusuhannya)".
Sementara itu, perkataan
Syiah juga ditemukan dalam Hadith Nabi S.A.W, antara lain disebut oleh Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Durr al-Manthur,
Beirut, Jilid 6, hal.379 yang artinya Nabi S.A.W bersabda:"Wahai Ali,
engkau dan Syiah engkau (golongan engkau) di Hari Kiamat nanti keadaannya dalam
ridha dan dirdhai", dan sabdanya lagi : "Ini (Ali) dan Syiahnya (golongannya)
(bagi) mereka itulah yang mendapat kemenangan di Hari Kiamat nanti".
Dengan ini kita dapati bahwa perkataan Syiah itu telah disebutkan dalam
al-Qur'an dan Hadith Nabi S.A.W. Yang dimaksudkan oleh oleh al-Quran dan hadith itu
bukanlah kata khusus kepada pengikut Syiah saat ini, melainkan kata umum kepada pengikut kepada sesuatu
golongan, yakni golongan Ibrahim a.s, golongan yang durhaka, golongan Musa a.s.
Bahkan Rasulullah sendiri pernah bersabda yang secara umum artinya : “golongan
kamu Ali akan terbagi tiga. orang yang terlampau memuja mu, orang yang
terlampau membenci mu dan orang yang cinta kepadamu karena Allah. Golongan
pertama dan kadua itu masuk neraka. Golongan ketiga itu masuk syurga”. Golongan
pertama dan kedua itu adalah“Syiah” dan Khawarij. Ijtihad kebanyakkan para
ulama bahwa
Syiah yang menyeleweng ialah golongan Syiah Imamiyyah/Ja'fariyyah dan
Zaidiyyah, karena mendewakan Ali. Imam al-Ghazali dalam bukunya Mustazhiri
menentang keras Syiah kerana ia mengandung pengajaran Batiniah. Imam Ja'far
as-Sadiq AS, generasi kelima keturunan Ali bin Abi Talib dan Fatimah Zahrah r.a
menyatakan, Syiah tidak boleh dinikahi dan mengikuti urusan keagamaan mereka karena aqidah mereka
bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadith, sebagaimana Golongan Syiah Imamiyyah
mengganggap Ja'far as-Sadiq AS sebagai imam keenam umat Islam. Walaupun beliau
tidak mengakuinya dan tidak menerima baiah mereka itu.
Secara istilah, syiah ialah
salah satu aliran atau mazhab dalam Islam selain Sunni, Walau sampai hari ini
jumhur ulama berpendapat bahwa Syiah laisa minal Islam (Syiah bukan dari Islam)
karena secara
umum, Syi'ah menolak kepemimpinan daripada tiga khalifah sunni pertama seperti
juga sunni menolak Imam daripada Imam Syi'ah. Muslim Syi'ah mengikuti Islam
berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya karena
menolak hadits yang berlawanan dengan kepercayaan mereka. Adapun menurut terminologi syariat, syiah
bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari
seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin baik
semasa Rasulullah Muhammad SAW begitu pula sepeninggal beliau. Penjelasan ini
dapat ditemukan dalam buku Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu
Hazm dan sikap para pemuka kaum Syiah, ulama-ulama mereka yang mengkultuskan
Ali RA dan mendewa-dewakannya dari sejak awal kemunculannya sampai hari ini.
I.
SEJARAH
LAHIRNYA SYIAH
Ada beberapa pendapat tentang kapan lahirnya/munculnya ajaran syiah.
Pendapat pertama mengatakan, Syiah lahir saat terjadinya perang Siffin antara
Ali RA dan Muawiyah yang didukung Ummahatul Muminin Aisyah RA. Pendapat kedua mengatakan
kemunculan Syiah setelah kematian Husain bin Ali RA. ketika beliau keluar dari pemerintahan
Yazid bin Muawiyah atas panggilan penduduk Iraq yang akan mendukungnya. Namun,
mereka mengkhianati beliau dan menyebabkan beliau terbunuh di Karbala.
Akibat daripada pembunuhan itu, muncul sekolompok muslim menuntut agar
pembunuhan tersebut dituntut bela. Ada pula sekolompok yang lain menghukum
kelompok ini kafir kerena sudah keluar dari pemerintahan Bani Umayyah. Lalu
timbullah perpecahan dan menyebabkan beberapa orang dari kalangan pendukung
Husain terbunuh dan mereka digelar sebagai Syiah. Ada pula yang berpendapat
bahwa syiah muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan dimana pada
akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka
membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat Islam pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka
menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan
para pengikutnya. Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, golongan
yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar
mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar
mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia
mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah
yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka
karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar),
akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang mengganti agamanya
(murtad) maka bunuhlah ia“
Kedua, golongan
Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia
pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan
bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
Ketiga, golongan
Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar.
Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau
bersabda,
“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya
adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam
ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin
Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusia terbaik setelah
Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
II.
SEKTE-SEKTE
SYIAH
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu
Kaisaniyyah, Ghulat,Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, dan Ismailliyah. Dari
kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya. Dari
lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah
atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus
berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya
negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Pencetus paham syiah ini sebenarnya adalah seorang yahudi dari negeri Yaman
(Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman
di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya
secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa
kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin
Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan
mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah
mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin
Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan
bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang
ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen
Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam
oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal
kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan
kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk
(giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat
(bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa
pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya,
sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat
diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm.
490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm.
123). Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena
tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakar dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah
Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
1.
Syiah
Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin
Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin
Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu. Nama
Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah
Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi,
al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan
dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang sahabat
yang sangat mencintai Ali. Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam
dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya
tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir
zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang
dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad
Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah
meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad
bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut
Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama
yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari
pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah
berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut
kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin
Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan
rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan
Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal
sejak abad ke 15 M.
2. Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka
adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan
kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, mereka juga meyakini para imam-imam
pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi,
bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat
telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau
dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan.
Sebahagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh
Khalifah Ali, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang
ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan
sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut
kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah
dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal
yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah
seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq (hlm. 10-21), sebagai
seseorang yang pertama kali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu
Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal itu juga
diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi (hlm. 170-174).
Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal
Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari
penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim. Kelompok saba'iyah juga
beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan
seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik
kelangit dan di sanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan kilat adalah senyumnya.
Kelompok lainnya
adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak
seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingkat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah
menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada
Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya
3.
Syiah
Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin
Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara
kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin.
Beliau merupakan tokoh alhul bait yang
terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid
bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya
dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah
meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula
Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai
dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat
tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan
Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para
penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin
seraya bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar
?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah
mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya.
Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya
baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati
mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini
menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam
terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan
umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi dan
Ummahatul Muminin Aisyah RA. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa
Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela
Abu Bakar dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin
‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin
Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86). Syaikh Abul
Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian
mereka celaan terhadap Abu Bakar dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga
akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan
kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian
tinggalkan aku?”
Maka
dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula
yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Keyakinan
itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali
bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian
memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka
melarikan diri.
4.
Syiah
Imamiyah
Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi
Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah
beliau wafat. Oleh karena itu, penunjukan Abu Bakar Ashshiddiq sebagai khalifah
adalah makar terhadap Ali. Kelompok inilah yang menolak kepemimpinan Abu Bakar,
Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan
menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 merupakan
kelompok yang terbesar. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan
perpolitikan yang cukup signifikan.
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, adalah kelompok yang berhasil mendirikan
dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah
tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Beberpa doktrin
bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya, perintah syari'at Islam hanya berlaku bagi orang
awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid, para filusuf mampu
mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, Al Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang
tertentu karena memiliki arti lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi
sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar
dari perpaduan ajaran syi'ah dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala
Ikhwan as Shafa.
Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah
Ubaidillah al Mahdi (Nama asli: Sa'id Ibn Husain/Abu Muhammad Ubaidillah Al
Mahdi) yang juga mengaku sampai kepada keturunan Ali. Akan tetapi, menurut Al
Hafidz Ibnu Katsir dalam Al Bidayah, pengakuannya tersebut dibantah oleh
sejumlah ulama tarikh seperti Imam Abu Hamid al Isfaraini, Imam Al Qadhi Al
Baqilani, Al Qaduri, dan lain-lain serta berkesimpulan bahwa Ubaidillah berketurunan
Yahudi. Menurut beberapa catatan, Ubaidillah Al Mahdi dilahirkan di Kuffah tahun
260 H / 874 M. Ia memulai gerakannya dari arah Syiria dimana pusat gerakan
firqah Syi'ah Isma'iliyah berada. Dari sana ia pergi ke Afrika Utara,
menelusuri Palestina dan Mesir hingga tiba di Raqqah dan berkuasa disana atas
dukungan Abu Abdullah As Shi'i. Philip K. Hitti dalam Historynya juga
menyebutkan bahwa Abu Abdullah As Shi'i yang telah membantunya merebut
kekuasaan Aghlabiyah yang pada
akhirnya dibunuh oleh Ubaidillah.
Dalam catatan Dr. Yusuf Al Isy' dalam "Tarîkh Ashr al Khalifah al
Abbasiyah" menyebutkan bahwa Abdullah As Shi'i merupakan kepanjangan
tangan untuk propaganda Syi'ah dari seorang Syi'ah kharismatik yang bernama
Maimun Al Qaddah. Maimun Al Qaddah adalah seorang Syi'ah yang menyebarkan isu
tentang kemunculan Al Mahdi menggantikan Isma'il bin Ja'far. Demikian halnya
dengan Ubaidillah, ia juga merupakan kepanjangan tangan propaganda syi'ah dari
Maimun Al Qaddah yang mendompleng keberhasilan gerakan As Shi'i di Maroko.
Ubaidillah mendakwakan dirinya sebagai al Mahdi ke 7. Dakwaan itu mendapat
sambutan pengikut-pengikutnya dan terus menjadi gelombang masa yang makin
terorganisir dengan baik. Hingga pada
tahun 909 M, Ubaidillah berhasil memproklamirkan diri menjadi khalifah/Imam
untuk dinasti Fathimiyah yang terpisah dari dinasti Abbasiyah. Nama Fathimiah
diambil menjadi nama resmi kekuasaan Syi'ah Isma'iliyah, merujuk kepada nama
putri Rasulullah; Fatimah Az Zahra radhiyallahu'anha sekaligus penisbatan
keturunan mereka. Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah 12. Dinasti Buwaihi merupakan
penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti
Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka
tetap eksis dengan Republik Iran sebagai basis gerakannya dengan Ayatullah Khomeini sebagai pemimpin revolusi.
III.
PAHAM
SYIAH YANG MENYESATKAN
Dalam perkambangannya, Syi'ah 12 mengalami perkembangan pemahaman. Banyak
sekali pemahaman-pemahaman Syi'ah Ghulat yang kemudian hari masuk kedalam
keyakinan mereka. Inilah yang menyebabkan beberapa pandangan dari ulama
ahlussunnah bahwa Syi'ah saat ini tak dapat disatukan dengan Sunni karena
perbedaan yang cukup dalam bidang akidah maupun fiqih. Beberapa pemahaman
Syi'ah Ghulat yang kemudian diadopsi diantaranya adalah;
1.
Bada'.
Mulanya aqidah bada' dikembangkan oleh syi'ah Mukhtariyah, salah satu versi
syi'ah Ghulat. Aqidah bada' merupakan pemahaman bahwa Allah mengetahui sesuatu
yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Ia bisa disebut juga dengan pengetahuan baru
dimana sebelumnya tidak mengetahui. Riwayat-riwayat tentang keyakinan bada' sangat
mudah ditemukan dalam turas syi'ah 12.
2.
Raj'ah.
Paham ini disebut juga dengan paham Inkarnasi. Paham ini lahir dari kelompok
syi'ah Ghulat saba'iyah. Paham ini meyakini akan datangnya Imam Mahdi dan
kebangkitan kembali seluruh Imam-imam mereka termasuk Rasulullah. Kebangkitan
mereka adalah dengan maksud menghukumi semua yang menyelisihi mereka baik yang
telah mati maupun yang masih hidup dan
yang telah melakukan kezaliman seperti Sayyidinana Abu Bakar, Umar, Uthman, Aisyah Ra, Hafsah, Muawiah
dan lain-lain. Penjelasan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Aqaid al-Imamiah oleh Syeikh Muhammad Redha
al- Muzaffar, hal 83. Dalam turats Syi'ah 12 hal itu disebutkan oleh sejumlah
tokoh mereka semisal Seikh Abbas al Qummi (Muntaha Amal, jilid 2, hlm. 341),
Muhammd Baqir al Majlisi (Haqqul Yaqin, hlm. 347), Maqbul Ahmad (Terjemah al Qur'an Maqbul
Ahmad, hlm. 535) dan lain-lain.
3.
Pengkultusan
terhadap para Imam. Ajaran ini juga bersumber dari aqidah Saba'iyah dan sekte
Ghulat lainnya. Namun saat ini ia telah resmi menjadi pemahaman syi'ah 12. Kita
dapat menjumpai pandangan-pandangan itu dalam kitab-kitab mereka sperti al
Kafi, Bihâr al Anwâr, Tafsir al Qummi, Tafsir al 'Ayâsî, Rijal Kâsî dan
lain-lain.
4.
Mengutamakan
Imam daripada para nabi. Ini juga merupakan salah satu ajaran Syi'ah ekstrem
yang menjadi kepercayaan Syi'ah 12.
5.
Imam
Adalah Maksum. Syiah meyakini bahwa imam-imam adalah maksum yaitu terpelihara dari
dosa kecil dan besar sejak kanak-kanak hingga meninggal dunia, kedudukan mereka
sama seperti nabi-nabi. Kitab Aqaid al-Imamiah oleh Syeikh Muhammad Redha
al-Muzaffar, hal 72.
6.
Al-Taqqiyah
(Berbohong/Berpura-pura), adalah menyatakan atau menunjukkan sesuatu yang
sebenarnya sangat dibenci hatinya atau melahirkan sesuatu yang bukan hakikat
sebenarnya dari kandungan
hatinya. Al-Taqiyyah ini diamalkan dalam setiap perkara kecuali dalam masaalah
arak dan menyapu (khuf). Perkara ini dijelaskan dalam buku Al-Usul
Min Al-Kafi juz 2 oleh Abu Jaafar Muhammad bin Yaakub bin Ishak al-Khulaini
al-Razi.
Dalam bukunya Al-Makasib Al-Muharramah, Khomaini
mengatakan,
“Tidak ada
lagi keraguan, bahwa mereka (ahlus sunah), tidak memiliki kehormatan. Bahkan
itu bagian prinsip penting dalam madzhab syiah, sebagaimana yang disampaikan
ulama. Orang yang mempelajari berbagai riwayat yang banyak dalam berbagai
kajian yang berbeda, tidak akan ragu tentang bolehnya merusak mereka dan
menyakiti mereka. Bahkan para imam maksum, sangat sering mencela, melaknat,
serta menghina mereka (ahlus sunah)….dan yang zahir, boleh membuat kedustaan
dan melemparkan kedustaan kepada mereka”
[Al-Makasib Al-Muharramah, Al-Khumaini, Muassasah
Ismailiyan, cet. Ketiga, 1410 H. Jilid 1, hlm. 251 – 252].
Hal yang sama juga disampaikan Al-Khou’i – salah
satu tokoh syiah yang sangat membenci ahlus sunah – ,
“Menghina kaum yang menyimpang atau
para pelaku bid’ah dalam agama (ahlus sunah), tidak samarnya, hukumnya boleh.
Sebagaimana pembahasan ghibah yang telah lewat, bahwa yang dimaksud orang
mukmin adalah mereka yang mengikuti prinsip kepemimpinan imam dua belas
‘alaihimus salam,… dan sangat jelas, dalil yang menunjukkan larangan menghina,
hanya tertuju kepada orang syiah yang beriman. Sehingga tidak termasuk selain
syiah, mereka di luar batas larangan penghinaan.… Berdasarkan tuntutan
kemaslahatan yang kuat, boleh memfitnah mereka, melemparkan kedustaan kepada
mereka, menyebutkan kesalahan yang tidak mereka lakukan, untuk mempermalukan
mereka. Bentuk maslahat dalam hal ini adalah membeberkan keadaan buruk mereka,
mengingat kaum muskminin (baca: Syiah) masih lemah. Sehingga syiah yang lemah
iman ini tidak tertipu dengan pemikiran buruk mereka…”
[Misbah Al-Faqahah, Al-Khou’i, penerbit Al-Ilmiah,
Qom, cet. Pertama, jilid 1, hlm. 700 – 701].
7.
Menghalalkan
Nikah Mut’ah. Golongan Syiah menghalalkan Nikah Mut’ah. Hal ini dinyatakan
dalam kitab Man La Yahduruhu Al- Faqih oleh Abu Jaafar Muhammad bin Ali bin Hussain
Bahawiah Al-Qanuni. Juz’ 1 hal 358. Bukan Syi'ah bila tidak doyan Mut'ah. Zina
berkedok agama tersebut memiliki kedudukan yang sangat agung dan merupakan
amalan yang amat mulia dalam agama Syi'ah. Bahkan hingga dikatakan secara dusta
oleh mereka untuk membuat semangat para pengikutnya bahwa barangsiapa yang
melakukannya hingga 4 kali, maka derajatnya sama seperti derajat Rasulullah
Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Na'udzubillah!. Bahkan ditemukan ajaran mereka
bahwa diperbolehkannya bermut'ah hingga seribu wanita. Nikah Mut’ah ini dihalalkan kaum Syiah salah
satu sebabnya adalah karena hadits
pelarangan nikah mut’ah ini diriwayatkan oleh Umar RA yang mereka benci dan
kafirkan.
8.
Menambah
Syahadah. Golongan Syiah menambah nama Saidina Ali dalam
syahadah selepas nama Nabi Muhammad S.A.W. Perkara ini dinyatakan didalam kitab
Al-Usul Min Al-Kafi oleh Khulaini, Juzu’1, hal 441.
9.
Kaum
syiah menolak hadis yang diriwayatkan oleh Ahli Sunnah Wal Jamaah Sekalipun
Hadis Mutawatir. Mereka hanya berpegang kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ahli Bait saja.
Pegangan ini disebut dalam buku Aslu Al Syiah Wa Usuluha oleh Muhammad Al
Husain Ali Kasyif Al-Ghita’, hal 149.
10.
Menolak
Ijma Ulama. Golongan Syiah tidak menerima Ijma Ulama’ , buktinya mereka menolak
perlantikan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Uthman. Mereka berpegang kepada
pendapat-pendapat Imam mereka, kerana ijma pada mereka adalah kesalahan,
sedangkan pendapat Imam adalah maksum. Perkara ini dinyatakan di dalam kitab
Mukhtasar al-Tuhfah al-Ithna Asyariyyah oleh Shah Abdul Aziz al-Imam Waliyullah
Ahmad Abdul Rahim al-Dahlawi, hal 51.
11.
Menghina
Isteri-Isteri Nabi. Golongan Syiah juga menghina isteri-isteri nabi. Perkara ini dinyatakan
dalam kitab Tuhfah al-‘Awam Maqbul oleh Syed Manzur Husain, hal 330.
IV.
PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang syiah, semoga bermanfaat adanya dan semoga
Allah senantiasa membimbing kita di jalan yang lurus dan terhindar dari bahaya
gerakan Syiah yang saat ini mencoba menyusup masuk ke dalam sendi-sendi
kehidupan ummat Islam terutama generasi mudanya.
Billaahi fii
sabilil haq
Wassalamu
alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 komentar:
Posting Komentar