Senin, 18 November 2013

KAMPANYE TOLERANSI, JANGAN BIARKAN AGAMA DICACI

AntiLiberalNews - Persoalan Syiah di Indonesia tidak bisa disederhanakan, misalnya ini urusan pribadi ataupun sekedar madzhab seperti madzhab lain. ISU intoleransi beragama kembali mengemuka. Tetapi fokusnya tetap sama, yakni mengangkat isu toleransi terhadap kebebasan, khususnya antara Muslim dengan non-Muslim atau keyakinan yang berbeda. Sementara kasus penistaan agama masih menggantung, belum banyak diisukan. Meskipun sesungguhnya kasus penistaan agama dapat dikategorikan kasus intoleransi terhadap kesakralan ajaran agama.
Seperti yang telah diberitakan, sejumlah aktivis pejuang kebebasan beragama hari Jumat (15/11/2013) meluncurkan kampanye “Merayakan Toleransi, Merawat Keberagaman”, sebagai reaksi atas terus terjadinya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta minimnya upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Kampanye ini yang digelar dalam rangka menyambut Hari Toleransi Internasional 16 November, diinisiasi antara lain oleh Setara Institute, Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB), Asian Moeslim Action Network (AMAN) Indonesia, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan sejumlah organisasi lain (Indonesia.ucanews.com/15/11/2013).....
SETARA Institut (SI) melansir laporan, selama Januri-November tahun ini telah terjadi 213 peristiwa yang menurut SI sebagai pelanggaran kebebasan beragama.
Kasus terakhir terkait tidak adanya izin polisi kepada sekitar 6000 warga Syiah anggota Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)  di Bandung, Jawa Barat yang hendak merayakan Asyura Nasional 1435 Hijriah 10 Muharam warga, Rabu kemarin.
Ada kerancuan antara kebebasan, intoleransi dan penodaan agama. Kasus Ahmadiyah dan Syiah lebih tepat disebut penistaan agama. Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mengaku Nabi dan mengaku bahwa Allah itu berasal dari Mirza Ghulam Ahmad (kitab Tadzkirah, hal. 436).
Mirza Ghulam Ahmad, mengaku berkedudukan sebagai anak Allah. Dalam kitab sucinya, Tadzkirah, dikutif firman yang konon dari Allah Subhanahu Wata’ala, “Anta Minni bimanzilati waladiy” (Kamu di di sisi-Ku (Allah) pada ke-dudukan anak-Ku) (Kitab Tadzkirah hal. 636).
Terhadap kelompok di luar Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, memberi predikat sebagai orang kafir, dilaknat dan musuh (lihat kitab Tadzkirah, hal. 748).

Kasus Syiah juga termasuk penodaan agama. Imam Khomeini, pemimpin besar Syiah kontermporer, dalam bukunya berjudul “Kasyfu al-Asrar”, cukup keji mengecam Abu Bakar dan Umar. Khomeini menulis dengan kata-kata yang tidak beradab. Disebut oleh dia keduanya adalah orang bodoh dan dungu yang suka melanggar perintah Allah Subhanahu Wata’ala (hal. 127).
Imam Khomeini dalam “Kasyfu al-Asrar” menilai, Fatimah melaknat Abu Bakar karena Abu Bakar menolak memberikan hak waris tanah fadak kepada Fatimah (hal.132).
Bagaimana sikap Syiah terhadap kelompok lain? Ternyata Syiah cukup radikal. Kelompok di luar Syiah disebut sebagai “nashibi”. Husein al-Darizi, mengatakan, “Sesungguhnya al-nawashib adalah apa yang disebut dengan kelompok Sunni” (al-Majalis al-Nafsaniyah, hal 147).
Menurut Imam Khomeini, kelompok nashibi  adalah kafir, najis, halal harta dan darahnya.  Dalam bukunya “Tahriru al-washilah” ia menulis, “Adapun an-nawashib dan al-Khawarij, mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala mengutuk mereka, kedua golongan tersebut adalah najis tanpa perlu meninjau kepada pembangkangan mereka yang muaranya adalah ingkar kepada kerasulan”. Nawashib divonis kufur, murtad, dan boleh mengambil hartanya (lihat Tahrir al-washilah, hal. 352). Baca juga Membuka Kedok Syiah Dan Penyimpangannya.

Semestinya, masalah Syiah ini sebenarnya bukan saja karena perbedaannya prinsipil (karena menyangkut fondasi akidah). Namun juga lantaran ketika keyakinan Syiah ini harus diekspresikan dalam bentuk-bentuk ritual melalui buku dan ceramah yang bermuatan pelaknatan terhadap para Shahabat dan isteri Nabi Muhammad saw.
Maka sudah pasti mencela Shahabat dan istri Nabi, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab induk Syiah, akan menimbulkan benturan bagi umat lain, yakni Sunni yang mendengarnya.
Lalu, apakah kelompok yang provokatif membuat tuduhan-tuduhan tidak etis seperti itu dibiarkan saja? Dengan alasan kebebasan beragama. Sementara, Muslim yang keberatan terhadap provokasi itu dituding intoleran? Jelas di sini belum ada kejelasan ukuran toleran dan intoleran.
Apakah kebebasan di sini maksudnya bebas untuk menista agama lain? Jika ada pembiaran, tatanan masyarakat pasti kacau. Chaos tidak bisa dihindarkan. Jika istri kita saja dilecehkan kita sakit hati. Apalagi yang dilecehkan ini menyangkut hal yang sangat sakral.
Persoalan Syiah di Indonesia tidak bisa disederhanakan, misalnya ini urusan pribadi ataupun sekedar madzhab seperti madzhab lain. Justru lebih dari itu, karena kosep “imamah” (kekuasaan mutlak harus dibawah para imam) sangat rentan terjadinya benturan dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sudah pasti punya cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan model imamah yang absolute itu, seperti kasus di Iran ketika populasi Syiah jadi mayoritas.

Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran takfir dan dakwah politik Syiah patut jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan lebih dalam lagi. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudulGerakan Syiah di Indonesia”, di nuonline.com pada(30/5/2011), As’ad berpendapat bahwa terdapat jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran. Pemicunya adalah, doktrin kemutlakan imamah berdasarkan politik. Harusnya, aparat pemerintah menindak lanjuti informasi seperti ini.
Di Jawa Timur, pemerintah bersama ulama telah berupaya menemukan solusi. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur.

Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Pemerintah bertanggung jawab dalam pembinaan penganut agama.
Tampaknya di sini konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan selama ini belum dipahami secara adil dan proprosional. Dalam interaksi Muslim dengan non-Muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah.

Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah adalah menjelaskan yang haq dan batil dengan cara hikmah.
Jika ada penyimpangan dan penistaan — yang bisa memancing konflik sosial — Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan bebas menista dengan alasan kebebasan agama, maka sesungguhnya hal itu akan mengotori kebebasan itu sendiri.
Kebebasan, hendaknya bertanggung jawab. Karena itu diperlukan perangkat hukum untuk mengaturnya. Sebab, sebesar apapun kebebasan orang, ia akan tetap dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan yang mendamaikan itu adalah kebebasan yang di dalamnya tidak ada penistaan, menghina, melecehkan dan menyudutkan figur agama atau terhadap individu dan terhadap sakralitas agama.
Karena itu, untuk menjaga toleransi antar keyakinan, diimbau agar Syiah tidak melakukan syiahisasi melalui ceramah dan buku-buku kepada umat yang sudah menganut akidah Ahlussunnah, apalagi isinya dapat melukai keyakinan Sunni. Kedua, mereka yang melakukan penistaan/penodaan terhadap agama dengan melaknat Shahabat dan istri Nabi berupa buku-buku dan ceramah maupun yang merespon-nya dengan kekerasan harus diselesaikan secara hukum. Ketiga, karena perbedaannya pada wilayah ushul, maka agar direkomendasikan mereka hanya bekerjasama di bidang mu’amalah saja.

Yang harus digaris bawahi di sini, bahwa toleransi tidak sama demikian sama dengan paham relativisme. Relativisme mengajarkan tidak ada pendapat yang paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena mencurigai kebenaran, bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Sehingga, relativisme sendiri sesungguhnya intoleran. Karena mereduksi ajaran agama.*

Penulis adalah Peneliti InPAS, anggota MIUMI Jawa Timur
Sumber www.antiliberalews.com

0 komentar:

Posting Komentar