AntiLiberalNews - Persoalan Syiah di Indonesia tidak
bisa disederhanakan, misalnya ini urusan pribadi ataupun sekedar
madzhab seperti madzhab lain. ISU intoleransi beragama kembali
mengemuka. Tetapi fokusnya tetap sama, yakni mengangkat isu toleransi
terhadap kebebasan, khususnya antara Muslim dengan non-Muslim atau
keyakinan yang berbeda. Sementara kasus penistaan agama masih
menggantung, belum banyak diisukan. Meskipun sesungguhnya kasus
penistaan agama dapat dikategorikan kasus intoleransi terhadap
kesakralan ajaran agama.
Seperti yang telah diberitakan, sejumlah aktivis pejuang kebebasan
beragama hari Jumat (15/11/2013) meluncurkan kampanye “Merayakan
Toleransi, Merawat Keberagaman”, sebagai reaksi atas terus terjadinya
kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta minimnya
upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Kampanye ini yang digelar dalam rangka menyambut Hari Toleransi
Internasional 16 November, diinisiasi antara lain oleh Setara Institute,
Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(Sobat KBB), Asian Moeslim Action Network (AMAN) Indonesia, Serikat
Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk), Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) dan sejumlah organisasi lain (Indonesia.ucanews.com/15/11/2013).....
SETARA Institut (SI) melansir laporan, selama Januri-November tahun
ini telah terjadi 213 peristiwa yang menurut SI sebagai pelanggaran
kebebasan beragama.
Kasus terakhir terkait tidak adanya izin polisi kepada sekitar 6000
warga Syiah anggota Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di
Bandung, Jawa Barat yang hendak merayakan Asyura Nasional 1435 Hijriah
10 Muharam warga, Rabu kemarin.
Ada kerancuan antara kebebasan, intoleransi dan penodaan agama. Kasus
Ahmadiyah dan Syiah lebih tepat disebut penistaan agama. Mirza Ghulam
Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mengaku Nabi dan mengaku bahwa Allah itu
berasal dari Mirza Ghulam Ahmad (kitab Tadzkirah, hal. 436).
Mirza Ghulam Ahmad, mengaku berkedudukan sebagai anak Allah. Dalam
kitab sucinya, Tadzkirah, dikutif firman yang konon dari Allah Subhanahu
Wata’ala, “Anta Minni bimanzilati waladiy” (Kamu di di sisi-Ku (Allah) pada ke-dudukan anak-Ku) (Kitab Tadzkirah hal. 636).
Terhadap kelompok di luar Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, memberi predikat sebagai orang kafir, dilaknat dan musuh (lihat kitab Tadzkirah, hal. 748).
Kasus Syiah juga termasuk penodaan agama. Imam Khomeini, pemimpin besar Syiah kontermporer, dalam bukunya berjudul “Kasyfu al-Asrar”,
cukup keji mengecam Abu Bakar dan Umar. Khomeini menulis dengan
kata-kata yang tidak beradab. Disebut oleh dia keduanya adalah orang
bodoh dan dungu yang suka melanggar perintah Allah Subhanahu Wata’ala
(hal. 127).
Imam Khomeini dalam “Kasyfu al-Asrar” menilai, Fatimah melaknat Abu Bakar karena Abu Bakar menolak memberikan hak waris tanah fadak kepada Fatimah (hal.132).
Bagaimana sikap Syiah terhadap kelompok lain? Ternyata Syiah cukup
radikal. Kelompok di luar Syiah disebut sebagai “nashibi”. Husein
al-Darizi, mengatakan, “Sesungguhnya al-nawashib adalah apa yang disebut
dengan kelompok Sunni” (al-Majalis al-Nafsaniyah, hal 147).
Menurut Imam Khomeini, kelompok nashibi adalah kafir, najis, halal
harta dan darahnya. Dalam bukunya “Tahriru al-washilah” ia menulis,
“Adapun an-nawashib dan al-Khawarij, mudah-mudahan Allah Subhanahu
Wata’ala mengutuk mereka, kedua golongan tersebut adalah najis tanpa
perlu meninjau kepada pembangkangan mereka yang muaranya adalah ingkar
kepada kerasulan”. Nawashib divonis kufur, murtad, dan boleh mengambil
hartanya (lihat Tahrir al-washilah, hal. 352). Baca juga Membuka Kedok Syiah Dan Penyimpangannya.
Semestinya, masalah Syiah ini sebenarnya bukan saja karena
perbedaannya prinsipil (karena menyangkut fondasi akidah). Namun juga
lantaran ketika keyakinan Syiah ini harus diekspresikan dalam
bentuk-bentuk ritual melalui buku dan ceramah yang bermuatan pelaknatan
terhadap para Shahabat dan isteri Nabi Muhammad saw.
Maka sudah pasti mencela Shahabat dan istri Nabi, sebagaimana
tertulis dalam kitab-kitab induk Syiah, akan menimbulkan benturan bagi
umat lain, yakni Sunni yang mendengarnya.
Lalu, apakah kelompok yang provokatif membuat tuduhan-tuduhan tidak
etis seperti itu dibiarkan saja? Dengan alasan kebebasan beragama.
Sementara, Muslim yang keberatan terhadap provokasi itu dituding
intoleran? Jelas di sini belum ada kejelasan ukuran toleran dan
intoleran.
Apakah kebebasan di sini maksudnya bebas untuk menista agama lain?
Jika ada pembiaran, tatanan masyarakat pasti kacau. Chaos tidak bisa
dihindarkan. Jika istri kita saja dilecehkan kita sakit hati. Apalagi
yang dilecehkan ini menyangkut hal yang sangat sakral.
Persoalan Syiah di Indonesia tidak bisa disederhanakan, misalnya ini
urusan pribadi ataupun sekedar madzhab seperti madzhab lain. Justru
lebih dari itu, karena kosep “imamah” (kekuasaan mutlak harus dibawah
para imam) sangat rentan terjadinya benturan dengan Pancasila, UUD 1945
dan NKRI. Sudah pasti punya cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan
model imamah yang absolute itu, seperti kasus di Iran ketika populasi Syiah jadi mayoritas.
Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran takfir dan dakwah
politik Syiah patut jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan
lebih dalam lagi. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan
bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”,
di nuonline.com pada(30/5/2011), As’ad berpendapat bahwa terdapat
jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi
seperti di Iran. Pemicunya adalah, doktrin kemutlakan imamah berdasarkan
politik. Harusnya, aparat pemerintah menindak lanjuti informasi seperti
ini.
Di Jawa Timur, pemerintah bersama ulama telah berupaya menemukan
solusi. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah dengan upaya
edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012
berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan
Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan
Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur.
Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk
mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu
chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab,
memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan
menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya
dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di
daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran
‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain.
Pemerintah bertanggung jawab dalam pembinaan penganut agama.
Tampaknya di sini konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan selama
ini belum dipahami secara adil dan proprosional. Dalam interaksi Muslim
dengan non-Muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua
konsep penting; toleransi dan berdakwah.
Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien
(tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan
unsur dakwah dalam Islam. Dakwah adalah menjelaskan yang haq dan batil
dengan cara hikmah.
Jika ada penyimpangan dan penistaan — yang bisa memancing konflik
sosial — Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan
bebas menista dengan alasan kebebasan agama, maka sesungguhnya hal itu
akan mengotori kebebasan itu sendiri.
Kebebasan, hendaknya bertanggung jawab. Karena itu diperlukan
perangkat hukum untuk mengaturnya. Sebab, sebesar apapun kebebasan
orang, ia akan tetap dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan yang
mendamaikan itu adalah kebebasan yang di dalamnya tidak ada penistaan,
menghina, melecehkan dan menyudutkan figur agama atau terhadap individu
dan terhadap sakralitas agama.
Karena itu, untuk menjaga toleransi antar keyakinan, diimbau agar
Syiah tidak melakukan syiahisasi melalui ceramah dan buku-buku kepada
umat yang sudah menganut akidah Ahlussunnah, apalagi isinya dapat
melukai keyakinan Sunni. Kedua, mereka yang melakukan penistaan/penodaan
terhadap agama dengan melaknat Shahabat dan istri Nabi berupa buku-buku
dan ceramah maupun yang merespon-nya dengan kekerasan harus
diselesaikan secara hukum. Ketiga, karena perbedaannya pada wilayah
ushul, maka agar direkomendasikan mereka hanya bekerjasama di bidang
mu’amalah saja.
Yang harus digaris bawahi di sini, bahwa toleransi tidak sama
demikian sama dengan paham relativisme. Relativisme mengajarkan tidak
ada pendapat yang paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena
mencurigai kebenaran, bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Sehingga,
relativisme sendiri sesungguhnya intoleran. Karena mereduksi ajaran
agama.*
Penulis adalah Peneliti InPAS, anggota MIUMI Jawa Timur
Sumber www.antiliberalews.com
0 komentar:
Posting Komentar